Postingan

BAB 10 Secangkir Kopi, Tulisan Ilmiah, dan Bayangan Cantika dalam Pikiran Erick

 Sore itu Erick kembali duduk di sudut favorit perpustakaan pusat—sebuah meja kayu yang warnanya mulai pudar, dekat jendela besar yang menghadap taman kampus. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap tipis, meninggalkan aroma pahit-manis yang biasanya cukup untuk menyalakan semangatnya kembali setelah berjam-jam berkutat dengan jurnal dan data penelitian. Biasanya, saat berada di sini, dunia Erick mengecil menjadi satu: teori, metodologi, dan target publikasi berikutnya. Ia selalu bisa mengalihkan diri dari kebisingan luar, fokus pada satu hal yang paling dicintainya: mengejar pengetahuan, menulis, dan menyempurnakan karya ilmiah. Namun sore ini berbeda. Tangannya memegang pena, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya terkumpul di antara barisan kata yang ia susun. Ia membaca satu paragraf jurnal lalu mengulanginya, namun tetap tidak benar-benar masuk ke kepalanya. Setiap kali ia mencoba fokus, ada satu bayangan samar yang menyela. Sebuah wajah. Sebuah tatapan singk...

BAB 9 Roni di Kamar Gudang: Bayangan yang Mulai Bernyawa

 Kamar Roni tidak pernah benar-benar layak disebut “kamar.” Ruangan itu lebih mirip gudang yang tak pernah disentuh rapi: tumpukan buku fotokopian berserakan di lantai, pakaian menumpuk di kursi, dan meja belajarnya dipenuhi gelas plastik bekas kopi instan yang mengeras di bagian dasar. Sinar matahari nyaris tidak bisa masuk karena jendela dipenuhi debu, menyisakan cahaya redup yang membuat ruang itu seperti berada dalam dunia sendiri. Di tempat seperti itulah, Roni duduk di ranjang tipisnya yang sudah kehilangan bentuk asli. Tubuhnya lelah, rambut kusutnya menutupi sebagian wajah, dan mata sayunya menatap kosong ke langit-langit yang catnya mengelupas. Tapi pikirannya… jauh dari kamar kumuh itu. Sejak siang tadi, ada satu hal yang berkali-kali kembali ke benaknya—bayangan seorang gadis yang bahkan belum ia kenal. Cantika. Atau lebih tepat: sosok yang ia lihat hanya sekilas, namun terasa terlalu jelas untuk disebut sekadar ilusi mata. Awalnya Roni mengira itu hanya efek kelelah...

BAB 8 Bayangan Cantika pada Erick dan Roni

 Meski hari itu Cantika sedang sibuk berpindah dari satu gedung ke gedung lain, pikirannya ternyata tidak sepenuhnya tenggelam dalam jadwal kuliah. Ada dua sosok yang—tanpa ia duga—meninggalkan jejak samar di benaknya. Sebuah kesan yang muncul begitu cepat, namun cukup kuat untuk sesekali muncul kembali, seperti memori yang belum selesai ditafsirkan. Bayangan Erick Erick bukan seseorang yang ia kenal secara pribadi. Cantika bahkan belum pernah berbicara dengannya, apalagi berinteraksi. Namun tatapan sekilas di koridor tadi meninggalkan semacam garis tipis dalam ingatannya. Gadis itu bahkan sempat bertanya dalam hati: Kenapa aku sempat memperhatikannya? Bukan hanya karena Erick tampak menonjol secara fisik—meski itu sulit dibantah. Wajahnya bersih, rapi, aura percaya dirinya kuat tapi tidak berlebihan. Langkahnya terlihat pasti, seperti seseorang yang tahu tujuan hidupnya dan bagaimana mencapainya. Banyak mahasiswa meliriknya, beberapa perempuan bahkan terlihat berhenti sebenta...

BAB 7 Roni Menangkap Sekilas Sosok Cantika

 Siang itu, halaman tengah kampus berubah menjadi lautan suara—tawa, langkah kaki, panggilan teman, dan derap aktivitas mahasiswa yang hilir mudik. Di sudut dekat dinding gedung fakultas, Roni berdiri sambil menenteng map lusuh yang sudutnya sudah melengkung. Posisi itu seperti titik tetap yang sering ia pilih: tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk memperhatikan keramaian tanpa harus benar-benar terlibat di dalamnya. Rambutnya yang kusut tertiup angin, namun ia tak berniat merapikannya. Jaket abu-abu yang warnanya mulai pudar ia tarik sedikit untuk menahan dingin AC dari lobi yang mengembus keluar. Dari depan, ia terlihat menunduk, seolah menimbang langkah apa yang harus dilakukan setelah ini—menghadap dosen, atau pulang saja seperti biasanya. Namun, di tengah keramaian yang bergerak seperti arus sungai, matanya tiba-tiba berhenti. Sekilas saja, mungkin hanya satu detik, tapi cukup untuk membuatnya terpaku. Sosok Cantika melintas tidak jauh di depannya. Ia tidak melihat selu...

BAB 6 Sosok Roni di Sudut kampus

 Sore itu, Cantika sedang berjalan melewati area taman kecil di sisi kampus. Matahari yang hampir tenggelam memantulkan cahaya oranye lembut di antara pepohonan, memberikan suasana tenang setelah hari panjang orientasi. Ia menurunkan langkah, menikmati udara yang mulai sejuk sambil merapikan rambut yang tertiup angin. Di sudut yang agak tersembunyi—tepat di bawah pohon trembesi besar—duduklah seorang pria yang tidak pernah diperhatikan orang-orang di sekitarnya. Roni . Tubuhnya sedikit membungkuk, tas lusuhnya tergeletak di samping, dan rambutnya yang kusut bergerak pelan tertiup angin. Dari kejauhan, ia tampak seperti seseorang yang sedang bersembunyi dari dunia, atau mungkin dunia yang sudah terlalu lama meninggalkannya. Cantika tidak sengaja melihatnya ketika ia hendak melewati jalur setapak menuju asrama sementara. Tatapannya hanya sekilas—sebenarnya ia tidak berniat memperhatikan siapa pun. Tapi pemandangan itu cukup membuat langkahnya melambat sedikit. Ia melihat seorang p...

BAB 5 Kegundahan Hati Erick

 Sepanjang perjalanan menuju gedung fakultas, Erick merasa ada sesuatu yang aneh mengusik pikirannya. Biasanya ia berjalan dengan fokus penuh—mengatur jadwal dalam kepala, memikirkan revisi tugas, atau merancang langkah berikutnya untuk penelitian. Namun kali ini pikirannya seperti tidak mau diam. Ia mencoba melanjutkan langkah seperti biasa, tapi bayangan wajah gadis itu—gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya—muncul begitu saja dalam pikirannya. Tatapan itu… singkat, sangat singkat, tetapi ada ketenangan aneh di dalamnya, seolah ia melihat sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. "Kenapa tadi aku sempat berhenti?" Erick bertanya pada dirinya sendiri. Ia tidak pernah berhenti hanya karena melihat seseorang. Ia juga sudah sering dilihat banyak mahasiswi, disapa, bahkan dipuji. Tapi tatapan gadis tadi tidak mengandung kekaguman berlebihan, tidak ada rasa ingin menyenangkan, tidak ada sorotan penilaian. Hanya… jujur. Natural. Tenang. Dan justru itu yang membuat gundah. Eri...

BAB 4 Tatapan Mata

 Pagi itu kampus sedang ramai—mahasiswa baru masih berkumpul di sekitar gedung orientasi, sementara mahasiswa lama lalu-lalang dengan ritme yang sudah terbiasa. Di tengah keramaian itu, Cantika berdiri di dekat papan pengumuman, mencoba membaca jadwal kelas yang tertempel sedikit miring. Rambutnya tertiup pelan oleh angin pagi, membuat beberapa helai jatuh menutupi pipinya. Sementara itu, dari arah berlawanan, Erick berjalan santai namun mantap, seperti seseorang yang selalu tahu ke mana harus pergi. Ia baru saja selesai berbicara dengan dosen, masih membawa map berisi draft penelitian. Banyak yang menyapanya, tetapi ia hanya menjawab dengan anggukan singkat dan senyum tipis yang menjadi ciri khasnya. Dan di titik itu—di lorong yang dipenuhi cahaya matahari yang jatuh dari jendela besar— tatapan mereka bertemu . Erick awalnya hanya mencari celah untuk lewat di tengah kerumunan, namun pandangannya tertahan ketika melihat sosok Cantika. Ia tidak mengenalnya, namun wajah itu… membu...