BAB 6 Sosok Roni di Sudut kampus
Sore itu, Cantika sedang berjalan melewati area taman kecil di sisi kampus. Matahari yang hampir tenggelam memantulkan cahaya oranye lembut di antara pepohonan, memberikan suasana tenang setelah hari panjang orientasi. Ia menurunkan langkah, menikmati udara yang mulai sejuk sambil merapikan rambut yang tertiup angin.
Di sudut yang agak tersembunyi—tepat di bawah pohon trembesi besar—duduklah seorang pria yang tidak pernah diperhatikan orang-orang di sekitarnya. Roni. Tubuhnya sedikit membungkuk, tas lusuhnya tergeletak di samping, dan rambutnya yang kusut bergerak pelan tertiup angin. Dari kejauhan, ia tampak seperti seseorang yang sedang bersembunyi dari dunia, atau mungkin dunia yang sudah terlalu lama meninggalkannya.
Cantika tidak sengaja melihatnya ketika ia hendak melewati jalur setapak menuju asrama sementara. Tatapannya hanya sekilas—sebenarnya ia tidak berniat memperhatikan siapa pun. Tapi pemandangan itu cukup membuat langkahnya melambat sedikit.
Ia melihat seorang pria dengan laptop tua di pangkuannya, mengetik pelan dengan ekspresi lelah yang sangat jelas. Bukan lelah fisik, tapi lelah yang datang dari hari-hari panjang yang menumpuk tanpa henti. Jaket hitam yang mulai memudar, sepatu lusuh, rambut acak-acakan—semuanya tampak seperti potret seseorang yang sudah bertahun-tahun berada dalam labirin yang sama.
Tatapan Cantika hanya berlangsung sepersekian detik, namun dalam detik itu ia merasakan sesuatu… semacam rasa kasihan yang ringan, bukan merendahkan, tetapi rasa peduli manusiawi terhadap seseorang yang tampak begitu sendirian.
Roni tidak menyadari tatapan itu. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri—atau mungkin dalam laporan yang tak kunjung selesai. Hanya suara ketikan lembut dan helaan napas berat yang keluar dari dirinya.
Cantika segera kembali memalingkan pandangan. Ia tidak ingin terlihat seperti sedang menatap terlalu lama. Namun ketika ia melangkah lagi, bayangan tentang pria kusut di bawah pohon tadi tertinggal di pikirannya.
Ada sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya sebentar:
"Apa dia baik-baik saja?"
Pertanyaan singkat yang jarang muncul dalam kesibukan mahasiswa baru.
Namun begitu cepat ia datang, begitu cepat pula ia menghilang—tersapu oleh langkah-langkah Cantika yang kembali stabil, menyatu dengan suasana kampus sore itu.
Komentar
Posting Komentar