BAB 10 Secangkir Kopi, Tulisan Ilmiah, dan Bayangan Cantika dalam Pikiran Erick

 Sore itu Erick kembali duduk di sudut favorit perpustakaan pusat—sebuah meja kayu yang warnanya mulai pudar, dekat jendela besar yang menghadap taman kampus. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap tipis, meninggalkan aroma pahit-manis yang biasanya cukup untuk menyalakan semangatnya kembali setelah berjam-jam berkutat dengan jurnal dan data penelitian.

Biasanya, saat berada di sini, dunia Erick mengecil menjadi satu: teori, metodologi, dan target publikasi berikutnya. Ia selalu bisa mengalihkan diri dari kebisingan luar, fokus pada satu hal yang paling dicintainya: mengejar pengetahuan, menulis, dan menyempurnakan karya ilmiah.

Namun sore ini berbeda.

Tangannya memegang pena, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya terkumpul di antara barisan kata yang ia susun. Ia membaca satu paragraf jurnal lalu mengulanginya, namun tetap tidak benar-benar masuk ke kepalanya.

Setiap kali ia mencoba fokus, ada satu bayangan samar yang menyela.
Sebuah wajah.
Sebuah tatapan singkat.
Seseorang bernama… Cantika.

Erick meneguk sedikit kopinya, mencoba menenangkan pikirannya. Namun tatapan sekilas yang terjadi beberapa jam lalu itu muncul lagi—begitu jelas seolah sedang diputar ulang oleh ingatan yang enggan berhenti.

Ia tidak tahu kenapa hal sesederhana itu bisa bertahan lama dalam benaknya.

Cantika tidak melakukan apa pun. Hanya lewat. Hanya menatapnya kurang dari satu detik. Namun ada sesuatu dalam cara cahaya memantul pada wajahnya, sesuatu dalam keteduhan ekspresinya, dalam langkahnya yang tenang namun penuh keyakinan… yang membuat Erick diam beberapa saat tanpa alasan.

Padahal ia bukan tipe yang mudah teralihkan oleh penampilan seseorang. Banyak mahasiswa yang mengaguminya, beberapa bahkan terang-terangan mencoba mendekat. Erick terbiasa menjaga jarak, membatasi ruang agar dirinya tetap fokus pada tujuan.

Tapi mengapa sosok Cantika terasa berbeda?
Mengapa bayangannya muncul di antara rumus statistik dan catatan literatur?
Mengapa bahkan aroma kopi sore ini terasa sedikit berubah—seakan membawa memori yang tidak seharusnya ada?

Erick menghela napas pelan dan menegakkan tubuh. Ia mencoba menulis kalimat lanjutan untuk artikelnya, tetapi ujung penanya justru berhenti tepat saat ia membayangkan tatapan Cantika—tenang, tidak menghakimi, tidak kagum, hanya… melihat. Biasa, apa adanya.

Mungkin itu yang membuatnya terus teringat.

Cantika tidak melihatnya seperti mahasiswa lain melihatnya. Tidak dengan kekaguman, tidak dengan rasa ingin tahu, tidak dengan intimidasi. Tatapannya, walau singkat, terasa jujur. Hanya dua manusia yang kebetulan saling menatap tanpa embel-embel apa pun.

Dan justru kesederhanaan itu membuatnya terus kembali dalam pikirannya.

Erick mencoba tersenyum kecil.
Ia merasa aneh.
Ini bukan dirinya.

Ia menutup jurnal di depannya, memutar cangkir kopi, lalu menatap keluar jendela.

Siapa sebenarnya gadis itu?
Pertanyaan itu muncul tanpa ia inginkan.

Namun, meski bayangannya mengganggu fokusnya, Erick belum merasa terdorong untuk mencarinya. Belum ada ambisi untuk mengenal lebih jauh. Hanya rasa ingin tahu yang halus—tipis seperti uap kopi—namun jelas tidak bisa diabaikan.

Erick meneguk sisa kopinya yang mulai dingin. Tulisan ilmiahnya masih menunggu untuk dirampungkan. Dunia akademiknya tetap berjalan.

Namun sore itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, pikirannya tidak hanya berisi target dan penelitian.

Ada sosok baru yang berjalan samar di sela-sela ide-idenya.
Seseorang yang tidak ia kenal, namun bayangannya menempel seperti noda cahaya yang sulit hilang.

Cantika.

Dan bagi Erick yang hidupnya selalu terukur dan teratur… satu bayangan sekilas saja sudah cukup untuk membuat dunianya sedikit bergeser.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB 8 Bayangan Cantika pada Erick dan Roni

BAB 7 Roni Menangkap Sekilas Sosok Cantika

BAB 2 Roni Mahasiswa yang Belum Lulus