BAB 8 Bayangan Cantika pada Erick dan Roni
Meski hari itu Cantika sedang sibuk berpindah dari satu gedung ke gedung lain, pikirannya ternyata tidak sepenuhnya tenggelam dalam jadwal kuliah. Ada dua sosok yang—tanpa ia duga—meninggalkan jejak samar di benaknya. Sebuah kesan yang muncul begitu cepat, namun cukup kuat untuk sesekali muncul kembali, seperti memori yang belum selesai ditafsirkan.
Bayangan Erick
Erick bukan seseorang yang ia kenal secara pribadi. Cantika bahkan belum pernah berbicara dengannya, apalagi berinteraksi. Namun tatapan sekilas di koridor tadi meninggalkan semacam garis tipis dalam ingatannya.
Gadis itu bahkan sempat bertanya dalam hati: Kenapa aku sempat memperhatikannya?
Bukan hanya karena Erick tampak menonjol secara fisik—meski itu sulit dibantah. Wajahnya bersih, rapi, aura percaya dirinya kuat tapi tidak berlebihan. Langkahnya terlihat pasti, seperti seseorang yang tahu tujuan hidupnya dan bagaimana mencapainya. Banyak mahasiswa meliriknya, beberapa perempuan bahkan terlihat berhenti sebentar hanya untuk memastikan dia benar-benar lewat.
Cantika, tanpa menyadari, merasakan sedikit ketenangan saat melihat sosok seperti itu. Erick terlihat seperti simbol harapan: muda, penuh pencapaian, dihormati, bahkan mungkin dicintai banyak orang. Seseorang yang hidup di garis lurus—tanpa gangguan, tanpa kerumitan.
Orang seperti dia terlihat jauh dariku, pikirnya singkat.
Bukan karena ia merasa rendah diri. Namun Cantika tahu betul bahwa orang-orang seperti Erick biasanya sibuk mengejar hal besar—prestasi, mimpi, masa depan. Sedang ia, di balik semua kekuatan yang ia tunjukkan, menyimpan banyak keraguan kecil yang jarang ia akui.
Tetapi tetap saja, bayangan Erick itu muncul kembali di benaknya beberapa kali sepanjang hari—tidak berlebihan, hanya samar, seperti bayangan cahaya yang lewat di sudut mata.
Bayangan Roni
Jika Erick adalah gambaran “masa depan cerah”, maka Roni adalah gambaran kontras yang tak sengaja terpotret dalam pikiran Cantika.
Sosok laki-laki di sudut kampus itu awalnya tidak ia perhatikan. Penampilannya acak-acakan, rambutnya berantakan seolah tidak pernah bertemu sisir, pakaiannya tampak kusut dan penuh tanda kelelahan. Ia berdiri sendiri, menunduk, seperti sedang menimbang beban berat yang hanya ia yang tahu.
Namun saat Cantika menatapnya sekilas—benar-benar sekilas—ada sesuatu yang membuatnya tidak langsung melupakan sosok itu.
Siapa dia?
Pertanyaan kecil itu muncul tanpa sadar.
Ada aura kesepian yang kuat, sesuatu yang membuat ruang di sekitarnya terasa lebih sunyi daripada seharusnya. Roni bukan tipe orang yang ingin menarik perhatian, tapi justru karena itulah ia terlihat berbeda. Cantika tidak mengenalnya, bahkan tidak tahu apakah ia mahasiswa aktif atau sekadar seseorang yang datang untuk urusan lain.
Yang jelas, tatapan singkat itu menimbulkan perasaan aneh—campuran iba, penasaran, dan sedikit kekhawatiran. Seperti melihat seseorang yang sedang berjalan sendirian dalam kabut tebal.
Tidak seperti Erick, bayangan Roni terasa lebih gelap. Namun bukan gelap dalam arti menakutkan—lebih seperti gelap yang menandakan seseorang sedang berjuang dalam diam.
Dua Bayangan, Dua Rasa
Cantika tidak menyadari bahwa dua tatapan sekilas itu akan kembali terlintas di pikirannya saat ia duduk di kelas, menunggu dosen datang.
Erick muncul sebagai kilasan cahaya: hangat, energik, meyakinkan.
Roni muncul sebagai bayangan kabut: berat, diam, menyimpan cerita.
Keduanya hanya lewat sebentar.
Tidak ada pertemuan, tidak ada kata-kata, bahkan tidak ada hubungan apa pun.
Namun hari itu, entah mengapa, Cantika membawa pulang dua kesan yang saling bertolak belakang—dan ia sendiri tidak mengerti apa artinya.
Komentar
Posting Komentar