BAB 9 Roni di Kamar Gudang: Bayangan yang Mulai Bernyawa
Kamar Roni tidak pernah benar-benar layak disebut “kamar.” Ruangan itu lebih mirip gudang yang tak pernah disentuh rapi: tumpukan buku fotokopian berserakan di lantai, pakaian menumpuk di kursi, dan meja belajarnya dipenuhi gelas plastik bekas kopi instan yang mengeras di bagian dasar. Sinar matahari nyaris tidak bisa masuk karena jendela dipenuhi debu, menyisakan cahaya redup yang membuat ruang itu seperti berada dalam dunia sendiri.
Di tempat seperti itulah, Roni duduk di ranjang tipisnya yang sudah kehilangan bentuk asli. Tubuhnya lelah, rambut kusutnya menutupi sebagian wajah, dan mata sayunya menatap kosong ke langit-langit yang catnya mengelupas.
Tapi pikirannya… jauh dari kamar kumuh itu.
Sejak siang tadi, ada satu hal yang berkali-kali kembali ke benaknya—bayangan seorang gadis yang bahkan belum ia kenal. Cantika. Atau lebih tepat: sosok yang ia lihat hanya sekilas, namun terasa terlalu jelas untuk disebut sekadar ilusi mata.
Awalnya Roni mengira itu hanya efek kelelahan. Ia sering melihat hal aneh ketika tekanan kuliah—dan kegagalan berkepanjangan—menumpuk. Namun semakin ia mencoba mengabaikannya, bayangan itu justru membentuk rupa yang semakin tajam.
Ia mendapati dirinya mengingat cara cahaya matahari memantul di wajah gadis itu. Cara rambutnya bergerak perlahan ketika angin kampus berhembus. Bukan sebagai fantasi, bukan pula sebagai keinginan—lebih seperti sesuatu yang dilihat oleh seseorang yang terlalu lama hidup dalam kegelapan, dan tiba-tiba mata mereka tersentuh cahaya pertama.
Roni memejamkan mata, bersandar pada dinding dingin yang retak.
Apa benar aku melihatnya? Atau hanya imajinasi yang muncul dari kepala kusutku?
Ia sendiri tidak tahu.
Ia tidak memikirkan kemungkinan mengenalnya. Tidak ada keberanian, tidak ada niat. Baginya, berkenalan dengan wanita secantik itu sama mustahilnya dengan menggapai bintang dari kamar gelap berbau lembap ini.
Yang ada hanyalah rasa asing di dadanya—bukan cinta, bukan suka—lebih seperti detak halus yang timbul pada seseorang yang tanpa sengaja melihat sesuatu yang terlalu indah untuk berada di dekat hidupnya yang berantakan.
Cantika bagai titik cahaya kecil di kejauhan. Roni hanya melihatnya sebentar saja, namun jejaknya tidak memudar.
Dan di antara tumpukan barang tak terurus, rasa lelah yang tak pernah reda, serta hari-hari yang tak kunjung berubah… bayangan samar itu justru terasa semakin nyata.
Bukan sebagai harapan.
Bukan sebagai tujuan.
Hanya sebagai sesuatu yang… ada.
Dan bagi seseorang seperti Roni, “ada” saja sudah cukup untuk mengusik dunia gelap yang selama ini ia tinggali.
Komentar
Posting Komentar