BAB 5 Kegundahan Hati Erick
Sepanjang perjalanan menuju gedung fakultas, Erick merasa ada sesuatu yang aneh mengusik pikirannya. Biasanya ia berjalan dengan fokus penuh—mengatur jadwal dalam kepala, memikirkan revisi tugas, atau merancang langkah berikutnya untuk penelitian. Namun kali ini pikirannya seperti tidak mau diam.
Ia mencoba melanjutkan langkah seperti biasa, tapi bayangan wajah gadis itu—gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya—muncul begitu saja dalam pikirannya. Tatapan itu… singkat, sangat singkat, tetapi ada ketenangan aneh di dalamnya, seolah ia melihat sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
"Kenapa tadi aku sempat berhenti?" Erick bertanya pada dirinya sendiri.
Ia tidak pernah berhenti hanya karena melihat seseorang. Ia juga sudah sering dilihat banyak mahasiswi, disapa, bahkan dipuji. Tapi tatapan gadis tadi tidak mengandung kekaguman berlebihan, tidak ada rasa ingin menyenangkan, tidak ada sorotan penilaian. Hanya… jujur. Natural. Tenang.
Dan justru itu yang membuat gundah.
Erick berjalan masuk ke lorong gedung fakultas, namun langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Tangannya menggenggam map tanpa sadar lebih kuat. Ada rasa penasaran yang tidak seharusnya ia rasakan—setidaknya, tidak untuk seseorang yang bahkan belum ia kenal.
Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat jadwal kelas, tapi matanya justru kehilangan fokus. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Ini bodoh," pikirnya. "Aku bahkan tidak tahu siapa dia."
Tapi bagian lain dalam dirinya—bagian yang jarang ia ajak bicara—merespons pelan, “Tapi kamu ingin tahu.”
Dan itulah kegundahan yang sesungguhnya.
Bukan jatuh cinta. Bukan terpikat berlebihan. Tetapi rasa ingin tahu yang tiba-tiba muncul, rasa yang menantang segala ketenangan hidup Erick selama ini.
Ia merasa terganggu oleh fakta bahwa tatapan sesingkat itu bisa memecah konsentrasinya. Dan lebih terganggu lagi oleh kenyataan bahwa ia ingin melihat gadis itu sekali lagi—meski ia tidak mengakui itu secara terang-terangan.
Di tengah koridor yang dipenuhi mahasiswa, Erick berhenti sejenak, menatap lantai, mengatur napas. Satu senyum samar muncul di ujung bibirnya—senyum heran, senyum seseorang yang merasa dirinya baru saja goyah untuk alasan yang ia sendiri belum mengerti.
Komentar
Posting Komentar