BAB 2 Roni Mahasiswa yang Belum Lulus
Jangan lupa baca BAB 1
Di sisi lain kampus yang megah itu, ada sosok yang sangat berbeda dari para mahasiswa baru yang penuh semangat. Namanya Roni, seorang mahasiswa tua yang sudah terlalu lama menghabiskan waktunya di kampus hingga wajah-wajah dosen pun berubah, namun status akademiknya tetap tidak bergerak.
Penampilannya hampir selalu terlihat berantakan, seakan ia memulai hari tanpa persiapan dan mengakhirinya tanpa perbaikan. Rambutnya kusut, panjang tak teratur, dan sepertinya sudah lama sekali tidak merasakan sentuhan sisir. Rambut itu menempel ke kiri dan kanan seperti dipaksa mengikuti arah angin yang tak tentu. Kadang beberapa helainya berdiri sendiri, membuatnya tampak seperti baru bangun tidur—walaupun kenyataannya, itulah style alaminya setiap hari.
Roni biasanya memakai kaos lusuh dengan tulisan yang hampir pudar dan jaket hitam tipis yang warnanya sudah mulai berubah keabu-abuan. Jaket itu adalah semacam “seragam tidak resmi” baginya; ia selalu memakainya, entah cuaca panas atau dingin. Celananya pun tidak jauh berbeda—jeans yang sudah mulai memudar, sedikit longgar, dan selalu tampak seperti belum sempat dicuci. Sepatu ketsnya lusuh, solnya menipis, dan warnanya sulit ditebak apakah awalnya putih atau abu-abu.
Bahunya sering terlihat sedikit membungkuk, seolah ia membawa beban yang sudah terlalu lama ia biarkan menumpuk. Tas ransel hitamnya terlihat kempes dan penuh tambalan di sana-sini, seperti saksi bisu perjalanan panjangnya di kampus ini.
Roni jarang berbicara dengan orang lain, bukan karena sombong, tetapi karena ia sudah kehilangan energi untuk menjelaskan banyak hal. Orang-orang mengenalnya sebagai mahasiswa tua yang entah bagaimana masih bertahan. Ia selalu terlihat berjalan sendiri, pelan, dengan tatapan kosong yang sulit ditebak apakah ia sedang memikirkan tugas yang tak kunjung selesai atau hanya berusaha mengingat jadwal pertemuan dosennya.
Wajahnya tidak buruk, sebenarnya. Hanya saja lelah. Mata yang sedikit cekung, kantung mata yang kentara, dan ekspresi datar yang jarang berubah. Ada jenggot tipis di dagunya yang tumbuh tanpa aturan, menambah kesan bahwa ia tidak begitu peduli dengan penampilannya.
Namun meski kacau, ada sesuatu dari Roni yang tidak sepenuhnya hilang: semangat kecil yang masih tersisa, yang muncul hanya sesekali. Saat ia duduk di bangku taman sambil membuka laptop tua yang bunyinya mirip kipas angin, ia terlihat fokus. Dalam hening itu, terlihat jelas bahwa ia masih punya tekad, walau mungkin tinggal sisa-sisa dari masa lalu.
Roni adalah gambaran kontras ekstrem di kampus bergengsi ini—seorang mahasiswa yang seperti tersesat di perjalanan panjang pendidikan, masih bertahan, meski hidupnya tampak kacau dan jalannya belum terlihat jelas.
Komentar
Posting Komentar