BAB 1 Cantika yang Cantik Jelita
Cantika datang ke kampus itu—kampus terbaik di negeri ini—bukan dengan gaya berlebihan, bukan dengan langkah yang ingin menarik perhatian. Ia hanya berjalan pelan melewati gerbang utama, membawa tas ransel hitam sederhana dan map tipis berisi berkas orientasi. Namun seketika kehadirannya membuat suasana di sekitarnya berubah.
Di antara ratusan mahasiswa baru yang berbaur, justru Cantika yang paling mudah terlihat. Bukan karena ia mencari sorotan, tetapi karena sorotanlah yang otomatis mencarinya.
Kulitnya cerah dan bersih, memantulkan cahaya pagi yang jatuh di wajahnya seperti efek alami yang tak bisa ditiru oleh filter apa pun. Rambut hitamnya yang lembut tergerai rapi, bergoyang pelan setiap kali ia menoleh membaca papan petunjuk gedung kuliah. Tanpa perlu riasan, tanpa aksesori mencolok—justru kesederhanaan itu membuat orang makin terpaku.
Para mahasiswa lain yang berdiri di sekitar halaman kampus saling bertukar pandang ketika melihatnya lewat. Ada yang menelan ludah pelan, ada yang diam tanpa sadar menghentikan langkah, ada yang berbisik kecil kepada temannya. Kekaguman itu tidak perlu diucapkan keras-keras; terlihat jelas dari cara mereka memperhatikannya.
Ada sesuatu dari Cantika yang membuat orang ingin memandang lebih lama, tapi tidak berani mendekat. Bukan karena ia tampak sombong—justru sebaliknya, wajahnya lembut dan teduh—melainkan karena ada aura tertentu yang membuat orang merasa harus menjaga jarak. Aura tenang, anggun, dan… terhormat.
Seolah mengganggunya adalah tindakan yang tidak pantas.
Saat ia duduk di tangga gedung rektorat sambil memeriksa jadwal orientasinya, beberapa mahasiswa lelaki yang lewat melambat tanpa sadar. Mereka saling memberi kode, saling mendorong bahu, namun tak satu pun berani memulai percakapan. Mereka hanya melihat sekilas, lalu segera mengalihkan pandangan karena takut terlihat terlalu terang-terangan.
Bahkan mahasiswi lain ikut terpukau. Ada yang mengagumi tanpa iri, ada yang berusaha menebak bagaimana bisa seseorang tampak begitu bersih dan begitu mempesona tanpa berusaha.
Tatapannya tenang, matanya cokelat lembut, fokus pada ponselnya sesekali, lalu melihat sekeliling dengan raut penasaran khas mahasiswa baru. Tapi di balik kepolosan itu ada ketegasan sikap—ia tampak seperti seseorang yang sudah terbiasa membawa diri dengan baik, bahkan di tempat baru yang penuh orang asing.
Ketika ia bangkit dari tangga dan berjalan menuju gedung fakultas, angin lembut mengibaskan sedikit rambutnya, menghantarkan aroma wangi yang halus dan bersih. Orang-orang yang berpapasan dengannya merasakan getaran aneh: bukan jatuh cinta, bukan sekadar kagum, tetapi semacam rasa hormat tanpa penjelasan.
Seolah Cantika adalah seseorang yang harus dihargai, bukan diganggu.
Dalam hitungan jam saja, rumor tentang “mahasiswa baru paling cantik yang tidak bisa didekati” sudah mulai beredar di grup angkatan. Tapi siapa pun yang melihatnya secara langsung akan tahu: Cantika bukan hanya cantik—ia menghadirkan kehadiran yang membuat dunia sekitar melambat, membuat orang diam, dan membuat hati bergetar tanpa keberanian untuk mengusiknya.
Baca lanjutannya di sini
Komentar
Posting Komentar