BAB 3 Erick Sang Idola
Di kampus terbaik nasional itu, ada satu nama yang hampir selalu muncul dalam setiap obrolan akademik, lomba, hingga acara kampus. Erick. Seorang mahasiswa muda yang seakan membawa cahaya sendiri ke mana pun ia pergi. Prestasinya terlalu banyak untuk dihitung dengan jari—mulai dari kompetisi nasional, publikasi ilmiah di usia sangat muda, hingga beberapa proyek startup yang bahkan dilirik oleh dosen-dosen senior.
Meski masih muda, Erick sudah dikenal sebagai “mahasiswa bintang” di fakultasnya. Orang-orang menjulukinya anak emas kampus, bukan karena ia dimanja, tetapi karena ia membuktikan kualitasnya berkali-kali tanpa perlu banyak bicara. Nilainya nyaris sempurna. Namanya sering terpampang di papan pengumuman sebagai juara lomba atau penerima penghargaan akademik.
Namun yang membuat banyak wanita mengaguminya bukan hanya prestasinya—tetapi cara ia memperlihatkan prestasi itu tanpa kesombongan.
Penampilannya rapi, tetapi tidak dibuat-buat. Rambutnya hitam dan tertata rapi, terlihat seperti seseorang yang selalu memperhatikan detail kecil. Kulitnya bersih, tubuhnya tegap, dan ia selalu berpakaian dengan gaya sederhana namun elegan: kemeja slim fit, celana chinos, dan sepatu bersih yang menunjukkan bahwa ia peduli pada penampilan tanpa harus terlihat mencolok.
Sorot matanya tajam namun ramah. Saat ia berbicara di depan kelas untuk presentasi, suaranya jelas, tenang, dan penuh keyakinan. Ada karisma alami dalam setiap gesturnya—cara ia menyelipkan tangan ke saku, cara ia tersenyum kecil saat menjawab pertanyaan dosen, atau cara ia menunduk sedikit saat berbicara dengan orang yang baru ia temui.
Kurus tapi atletis, Erick sering terlihat di lapangan basket atau berlari kecil di sekitar jogging track kampus. Banyak mahasiswa perempuan yang sengaja melambatkan langkah ketika melihatnya lewat, hanya untuk melihat senyumnya yang sopan dan tidak dibuat-buat. Senyum itu bukan senyum yang menggoda—justru itulah yang membuatnya lebih menarik. Senyum yang tulus, bersih, dan menunjukkan bahwa ia menghargai siapa pun yang menyapanya.
Ia tidak pernah menciptakan jarak, tetapi juga tidak memberi harapan kosong. Sikapnya profesional, fokus, dan tidak mudah digoyahkan oleh perhatian yang ia dapatkan. Dosen-dosen memujinya, teman-temannya menghormatinya, dan banyak mahasiswi diam-diam menjadikannya standar lelaki kampus.
Ketika berjalan melalui lorong fakultas, orang sering memberi jalan tanpa sadar, seakan mereka tahu bahwa ia sedang menuju sesuatu yang penting. Meski begitu, Erick tetap rendah hati—menyapa satpam, mengucapkan terima kasih pada petugas kebersihan, bahkan membantu adik tingkat yang kebingungan mencari ruang kelas.
Ia bukan hanya pintar dan tampan, tetapi punya aura pemimpin. Aura seseorang yang, meski masih muda, sudah memiliki arah jelas dalam hidupnya.
Komentar
Posting Komentar